Sunday 12 June 2016

SAPE’ : ALUNAN MUSIK YANG MEMBANGKITKAN JIWA


Photo Dayak Kayaan memainkan Sape (sumber internet)
Sape’ adalah alat musik petik yang berasal dari suku dayak Kayaan-Kenyah. Penamaan alat musik jenis Sape’ ini pertama kali ditemukan pada masyarakat Kayaan dan masyarakat Kenyah. Rumpun Kayaan termasuk juga dayak Kenyah merupakan pecahan suku yang berasal dari Apo kayaan Kalimantan Timur (Kaltim). Sebaran terbesarnya terdapat di Kaltim sepanjang sungai Mahakam. Sementara di Kalbar dan Sarawak Malaysia merupakan komunitas kecil dari pecahan Apo Kayaan tersebut.

Di Kalbar, Sape’ pertama diperkenalkan suku Dayak Kayaan Medalaam Kabupaten Kapuas Hulu. Kalangan mereka mengenal Sape’ dengan dua senar sebagai alat musik asli. Sementara sape’ empat senar merupakan sape’ Kenyah. Pada perkembangannya sejak terpisah dari Apo Kayaan, sape’ empat senar ini juga kerab dimainkan dalam kegiatan leluhur mereka hingga kini.

Dalam mitologi suku dayak Kayaan, Sape’ diciptakan oleh seorang yang terdampar di karangan (hamparan bebatuan dan kerikil sungai yang muncul akibat air surut), karena sampannya karam diterjang riam. Diantara rekannya, ia sendiri yang selamat dari terjangan riam hebat. Sesaat tertidur di karangan antara sadar dan tidak, ia mendengar suara alunan musik petik begitu indah dari dasar sungai. Lama mendengar suara tersebut, semakin dekat pula perasaan dengan jarak sumber suara hingga buatnya penasaran.

Ia merasa mendapat ilham dari leluhur nenek moyangnya. Sekembali ke rumah, ia pun mencoba membuat alat musik tersebut dan memainkannya sesuai lagu yang didengarnya ketika di karangan. Sejak saat itulah Sape’ dimainkan dan menjadi alat musik tradisi. Kini Sape’ telah menjadi musik khas suku Dayak umumnya. Selain itu, tak sedikit pula suku dayak lain mempelajari dengan serius alat musik ini dan bahkan piawai memainkannya. Selain piawai bermain Sape’, namun alangkah eloknya jika sang pemain memahami sejarah sape’ terlebih dahulu. Tradisi suku dayak Kayaan Medalaam, alat musik Sape’ kerab dimainkan pada kegiatan upacara adat seperti :

  1. Dayung, Mengobati orang sakit, khusus untuk orang yang memiliki abuh (makhluk gaib)
  2. Iringan tari waktu Ngayau, diiringi musik Daak Karaang Kayo
  3. Hiburan pada saat Dange, gawai dan acara perkawinan
  4. Upacara persembahan yang menggunakan daak sekivak ujung bakung
  5. Iringan Telima/tekna lawe’  (syair-syair kuno atau sastra lisan)

Dalam bahasa Kayaan Daak artinya musik. Ada beberapa jenis daak yang populer dimainkan pemain Sape’ kalangan suku dayak Kayaan Medalam yakni : Daak Datun Julut, Daak Umaa Timai, Daak Paron, Daak Lalang Buko’, Daak Luvaak Avun, Daak Manuk Halo’, Daak Song Pak, Daak Karaang Kayo, Daak Karaang Aruu’, Daak Daraan Kaloh, Daak Langiling, Daak Kasing Buraa’, dan banyak lagi.

Menjadi seorang pemain Sape’, setidaknya ada delapan hal dasar wajib diketahui sebelum memulai memainkan alat musik ini  adalah :
1. Ting = Senar
Cara stem sape’ Kayaan yakni ting 1 dan 2 nadanya sama, ting 1 dan 2 adalah nada do maka ting 4 adalah nada sol, dan ting 3 adalah nada mi tinggi atau oktaf kedua. (simak tutorial memainkan Sape’ kayaan Medalaam https://m.youtube.com/watch?v=tP3Cloa9zLQ
2. Lasar = Fret 
    terbuat dari rotan yang direkat dengan sarang serangga layut/kelulut
3. Lataar = permukaan ukiran sape
4. utah = kuping Sape’
5. Keraan = leher sape’
6. Avud = belakan sape’
7. Kuhung = kepala sape’ 
     biasanya motif yang digunakan adalah anjing dan burang Enggang
8. La’ib = bagian pinggir sape’
Ferry Sape', pemain sape' asal
Dayak Kayaan Medalaam
Dalam mitologi Kayaan, motif digunakan untuk sape’ biasanya adalah motif binatang-binatang perkasa yang bisa mengambil semangat orang lain atau membangkitkan semangat penari pada suatu pertunjukan. Bermain sape’ juga biasanya juga dimainkan oleh dua orang pemain atau lebih dengan sebutan Nyibak (rytem) dan Nganaak (Lead Guitar/Melody).

Pada perkembangannya, alat musik Sape’ kini bukan menjadi milik salah satu suku saja. Namun merupakan aset kekayaan budaya bangsa Indonesia. Kendati demikian, Sebagai generasi penerus warisan budaya setidaknya kita terus melestarikan dan menjaga khazanah kebudayaan ini. Jagalah jati diri sebagai identitas kita. Terpenting adalah bukan berarti senang dan mencintai kebudayaan orang lain menjadikan kita sebagai seorang plagiat.


Saturday 11 June 2016

NEGARA AGRARIS YANG KRONIS DALAM CENGKRAMAN KAPITALIS

Bak kotak pandora muntahkan bibit pandemi. Senang atau tidak, kita mesti akui dalam kondisi kronis akibat ketergantungan pada negara lain, baik pertanian, peternakan, teknologi, maupun kesehatan. Lantas, benarkah bibit tanaman impor dijual dalam kemasan adalah benih hasil manipulasi dari proses kloning. Akankah kita tergantung pada produk tersebut. Menjadi dilemalah negara yang seyogianya agraris seakan kronis karena tunduk pada kaum kapitalisme. Kejam dunia bisnis sebagai dampak rakusnya predator uang.

Thailand dan Vietnam secara harafiah merupakan negara kecil dibanding Indonesia. Namun kedua negara tersebut mempunyai hasil pertanian yang sangat melimpah. Indonesia menjadi salah satu pembeli produk pertanian mereka yang meliputi beras, jagung, cabe, wortel, durian bahkan bawang putih dan bawang merah. Nah..setelah dibeli, bisakah kita ambil biji kemudian ditanam dengan harapan tumbuh sebagaimana mestinya? Tentu pertanyaan gila bukan, karena mustahil tumbuh. Jika ingin menanam, maka kita juga harus membeli bibit dan pupuk dari mereka.

Perlu diketahui bahwa, perlakuan tumbuhan yang dimanipulasi seperti dikenal dengan benih F1 (Fililal) merupakan hasil dari indukan pertama. Sehingga jika ditanam tidak akan menghasilkan tanaman seperti indukan aslinya. Kemudian benih dari F1 ditanam kembali, maka akan menjadi F2 dan praktis tidak akan menghasilkan sama seperti F1, begitu pula seterusnya.

Beraneka produk benih dijual dengan menawarkan hasil panen melimpah ruah. Dan kita pun tergiur membelinya, tanpa disadari bahwa akan terus membeli produknya. Banyak pabrik bibit seperti di Thailand dan vietnam sengaja membeli bibit indukan asli (plasma nutfah) dari Indonesia dan kemudian dikloning sedemikian rupa agar kita bisa tergantung pada produk mereka. Varietas durian Montong Thailand misalnya, dikenal juga sebagai raja durian yang nota bene berasal dari Matasih kabupaten Karangayar, Jawa Tengah. Thailand rela membeli pohon durian Sukun untuk dikembangkan di negaranya. Kemudian berhasil mengemas menjadi varietas unggulan dinamakan durian Montong. Thailand telah berhasil menjajah penggemar durian dunia dengan produk Indonesia yang diracik ulang.

Uniknya, Indonesia menjadi pengimpor durian tersebut bahkan bibitnya. Dalam setahun, Indonesia mengimpor durian Montong hingga 19 ton dari Thailand. Sungguh miris bukan, dikala Indonesia adalah center of origin Durian, memiliki 20 spesies durian dari total 27 jenis durian di dunia. Kalimantan menjadi pusat jenis durian, jumlah spesies mencapai 18 jenis dan disusul sumatera 7 spesies serta Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku masing-masing satu spesies. Kala itu di Kalimantan sendiri marak melakukan penebangan pohon durian untuk dijual kayunya. Terlepas sadar atau tidak, masyarakat sedang masuk dalam skenario pemusnahan spesies asli. Sehingga jadilah mereka sebagai pembeli hak paten dari produk mereka sendiri.

Dalam konteks dunia pertanian, resiko terbesar adalah proses penanaman bukan pada pembenihan. Keuntungan terbesar tentu milik perusahan, dengan budget rendah bisa hasilkan bibit. Sementara petani sebagai penanam, dengan budget dan resiko besar hanya dapat keuntungan margin saja. Selain Thailand dan Vietnam, Malaysia juga negara yang agresif pada ekspansi perkebunan sawit. Dengan menjual bibit unggul, mereka juga menjual pupuk sebagai penunjang bibit sawit mereka. Hal tersebut sengaja diskenario agar tergantung pula pada produknya, dan ini dirasakan petani berbagai daerah seperti Kalimantan Barat. Mereka cenderung memilih produk pupuk dari Malaysia meski terkadang illegal namun mereka meyakini itu baik untuk perkembangan kebun sawit miliknya.
Ilustrasi lainnya, cabe dan kangkung. Dulu jika ingin menamannya, maka tinggal lempar biji cabe ditanah dan akar kangkung dikolam maka akan tumbuh subur dengan sendirinya. Kemudian pada varietas padi, seperti padi hibrida hanya bisa ditanam satu kali untuk dapat hasil maksimal. Begitu pula pada padi unggul, bisa ditanam hingga 10 kali saja, namun dengan perlakuan baik. Selain dunia pertanian, juga sama halnya pada peternakan. Lihat ayam potong atau ayam petelur, bibit yang beli juga tidak bisa dikembang biakkan karena sudah dimandulkan.

Dengan kronologis kasus diatas, hendaklah bijak menjaga harta warisan milik kita. Jangan mudah terpengaruh dengan hasil besar dan instan. Komitmen dan konsistensi adalah senjata kita untuk menjaga amanah bagi masa depan generasi anak cucu kelak. Setidaknya ingatlah pada suatu nubuat ini, “Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik…Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak disini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu-yakni tanah dimana kamu tinggal, sumber penghasilanmu, dan bahkan makan yang ada di mulutmu. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini” (Charles James Brooke-The White Rajah of Sarawak : 1915).

17 Fakta Tentang Sub Suku Dayak Mualang


Dayak Mualang merupakan salah satu sub suku dayak di kabupaten Sekadau provinsi kalimantan Barat. Bermukim di bagian timur hingga utara, antara perbatasan kabupaten sintang hingga perbatasan tanah Jangkang.

Sebaran suku ini di tiga wilayah kecamatan yakni Belitang Hilir, Belitang Hulu dan Belitang. Lahir dari kebudayaan dan tradisinya, berikut bisa dilihat beberapa fakta tentang suku Dayak Mualang, antara lain :


1. suku Dayak Mualang adalah Orang dayak pertama yang menjadi Uskup
2. Suku mayoritas di tiga sebaran kecamatan pada 128 kampung
3. Mualang bukan lah nama suku melainkan nama sungai yang mengalir dari Ketungau Tengah hingga Belitang. Oleh karena suku ini bermukim dibantaran sungai Mualang, maka disebutlah Suku Mualang.
4. Suku bungsu dari Rumpun suku Ibanic Group
5. Mayoritas masyarakatnya berpenghasilan tergantung dari kebaikan alam yakni sebagai petani karet, sawit dan ladang
6. Struktur bahasanya banyak menggunakan lafal "i", contoh nadai, pulai, makai, dst
7. Berasal dari tembawang tampun juah dan mengakui adanya legenda keling kumang sebagai dewa dewi pelindung mereka
8. Dikenal juga sebagai dayak pesisir, karena memiliki kecendrungan hidup dibantaran sungai
9. Mayoritas masyarakatnya penikmat kopi hebat, konon dipemukiman ini kopi terjual laris manis.
10. Masih menyimpan situs warisan budaya rumah betang di desa sungai antu kec belitang hulu, dengan umur lebih dari 60 tahun
11. Tempat tinggal dikampung mayoritas rumahnya  berkarakter desain mirip satu sama lain, dengan bentuk rumah terpisah yang menjadi 2 bagian yakni rumah induk dan rumah dapur. Rumah tambahan yang sebagai dapur tersebut, bertujuan menghindar masuknya asap dari hasil pembakaran kayu api sebagai bahan bakar memasak makanan.
12. Suku yang peramah bagi masyarakat pendatang
13. Tradisi gotong royong antar masyarakat masih melekat kuat
14. Pada umumnya, kaum hawa lebih banyak menguasai pekerjaan baik di rumah maupun di luar. Sementara kaum adam, sifat pekerjaannya lebih eksklusif atau pada pekerjaan tertentu yang lebih berat saja.
15. Masyarakatnya mayoritas memeluk agama Nasrani (katolik dan kristen)
16. Senjata kayau/mangayau dikenal dengan nama pedang
17. Suku yang nyaris tidak memiliki tanah adat/hak ulayat sebagai akibat konversi lahan.
Dalam perkembangannya, kehidupan suku dayak Mualang sudah modern. Pada tataran pemerintahan dan perpolitikan di kabupaten Sekadau, suku Mualang banyak menempati tempat strategis.
Dibalik kehidupan yang modern tersebut, tentu mempengaruhi pula terhadap eksistensi perkembangan adat istiadat, tradisi dan budayanya yang menjadi cenderung tercerabut oleh arus peradaban modernisasi. Tidak sedikit pula, para generasi muda mulai melupakan tradisi dan budaya aslinya. Meski ada pun generasi muda yang konsisten mencari jati diri sukunya. Semoga suku ini tetap mampu melestarikan kebudayaannya.

Friday 10 June 2016

Juru Parkir : Premanisme Yang Terselubung

Pernah jengkel dengan juru/tukang parkir?
Atau pernah merasa senang, lolos tidak bayar parkir karena juru parkirnya khilaf?
iya..pasti 100% semua pernah merasa hal sama.

Nah...beberapa hari lalu saya juga mendapat pengalaman sama. Alih-alih mau cari makanan
Murah buat sahur, eh..ketiban nyumbang tukang parkir buat beli rokok. Kala itu subuh, tidak seperti biasa. Lokasi tempat saya beburu makanan sahur suasana mati lampu. Setiap hari saya kerab menyambangi rumah makan padang dibilangan wonodri semarang. Ya..itu adalah tempat favorit saya, dengan budget mahasiswa namun mengenyangkan.
Saat ketika mendudukan kendaraan saya bersama teman, eh..tiba-tiba terdengar dari pojok kiri depan.
"Priiiiiiiiiittt.....priiiiiiiiitt, monggo diparkir mas," terdengar suara pemuda bertato menghampiri kendaraan kami.
"Dasar kampr*t", ungkap saya dalam hati. Biasanya subuh tidak berparkir, mungkin hanya fenomena sahur saja, pikir saya lagi.
Setelah dibungkus nasi kami bergegas pulang, dengan wajah murung teman saya memberikan tagihan parkir ke pemuda tersebut. 
Lain halnya dengan teman kontrakan saya yang satu lagi. Saat membeli rokok di sebuah mini market bersama pacarnya. Ia menunggu di motor, semntara pacarnya masuk mini market membeli rokok. Selang dua menit kemudian, pacarnya kembali ke motor. Ketika motor dinyalakan, tiba-tiba muncul seorang pemuda menghalangi motor mereka dan memegang batok depan motor.
"Parkir mas.." ujar pria itu nada sedikit garang.
Dengan perasaan dongkol teman saya memberi jatah parkir tersebut dan kembali pulang.
Singkat cerita, setidaknya ada pengalaman menjengkelkan saya bersama juru parkir ini dibeberapa tempat seperti :
  1. Saat Fhoto copy  KTP 3 lembar areal Undip, biaya 500 rupiah. Ongkos parkir seribu#tekor
  2. Beli sayur dipasar Johar, bayar parkir 5 ribu, dikembalikan  2 ribu. Padahal jelas parkir cuma seribu
  3. Makan nasi goreng di angkringan bilangan Thamrin, bayar parkir 2 ribu tidak ada kembaliannya alasan tidak ada uang kembalian
  4. Saat datang parkir sendiri, saat pulang kena tilang juru parkir. Lha..ini hampir disemua tempat sama.
So...kesimpulannya apa? ketika kita komplain pada mereka, maka ini akan menjadi masalah besar. Kan lucu, gegara uang seribu muka jadi lebam. Hufftt..ga banget lah..!!
Terus dimana pemerintah dalam hal ini, untuk melindungi hak para konsumen pengguna jasa parkir. Positif bahwa, para juru parkir yang berulah ini adalah juru parkir liar, yang jarang mendapat penertiban dari pemerintah. 
Setahu saya, juru parkir yang resmi atau berijin itu menggunakan seragam khusus dengan mengantongi karcis parkir dan membawa ID Card parkirnya. Tapi fakta dilapangan, meski menggunakan seragam parkir yang nota bene seragam asli atau abal-abal yang jelas tidak ada karcis parkir diberi pada konsumen. Padahal karcis parkir tersebut lah sebagai jaminan keamanan bagi konsumen dan alat perhitungan persentase fee juru parkir dari pemda.
Lantas kenapa mereka tidak menggunakan karcis? Ya..karena jika menggunakan karcis maka praktis uang yang masuk dikantong pribadi menjadi menipis. Inilah alasan kenapa banyak orang yang mau menjadi juru parkir di seluruh pelosok negeri ini. 
Penghasilan bersih juru parkir ini tidak kurang dari 100 ribu/harinya, maka dalam sebulan sedikitnya ia bisa memperoleh penghasilan lebih dari gaji PNS golongan 2 sampai 3A. 
Dengan itu, wajarlah pekerjaan ini menjadi lahan segar bagi sebagian masyarakat. Bertolak belakang dengan negara berkembang dan maju lainnya. Sebut saja seperti negara tentangga kita Malaysia dan Singapura. Disana persis kita tidak pernah menemukan juru parkir seperti yang menjamur di Indonesia.
Lantas yang dirugikan tentulah pemerintah sendiri dan terutama masyarakat. Dengan seolah melakukan pembiaran, pemerintah telah mengamini tradisi praktek korupsi dikalangan masyarakat. Pasalnya, selain juru parkir resmi dari Dishub yang kerab tidak menyetor retribusi parkir secara utuh tentulah parkir liar diberbagai lokasi juga secara utuh masuk ke kantong pribadinya masing-masing.
Akibatnya adalah penghambatan pembangunan sebagai dampak berkurangnya sumber pendapatan asli daerah (PAD) dari retribusi tersebut. Pengalaman teman saya yang nota bene anggota DPRD, mereka telah menargetkan pendaparan retribusi parkir hingga 100 M per tahun namun menerima setoran hanya 500 juta saja. Menurutnya, selain juru parkir sendiri juga tidak kalah hebatnya oknum PNS dilapangan dalam menyunat pendapatan retribusi tersebut.
Bagi saya, untuk meningkatkan pelayanan masyarakat maka perlu lah dilakukan pembinaan terhadap juru parkir ini. Para juru parkir baik resmi maupun liar semuanya harus diakomodir dengan baik oleh dinas terkait. Sebelum menjadi juru parkir, mereka harus mendapat pembinaan dari dinas terkait seperti dibekali SOP (seragam, id card, karcis parkir, dan standar pelayanan pada konsumen) dan dilakukan monitoring secara berkesinambungan. Hal ini memang tampak sepele, namun punya kecenderungan tindakan pidana dalamnya baik oleh juru parkir maupun konsumen. 
Belum lagi jika kendaraan lecet akibat parkir atau terjadi kehilangan kendaraan, siapa yang mau bertanggung jawab dan apakah sudah di asuransikan? Saya kira juru parkir tidak akan bertanggung jawab. Juru parkir memang terkadang semena-mena, maka dalam hal ini pemerintah lah yang wajib menjaga kepentingan konsumen. Pemerintah harus berada di depan untuk melindungi segenap kepentingan masyarakatnya, bukan melakukan pembiaran. Sering-sering lah blusukan ke lapangan kayak Bapak Presiden kita, pantau dan jaring para preman-preman parkir liar tersebut dan bina lah mereka.
By the way...ini baru bicara juru parkir, belum lagi bicara tentang pengamen jalanan yang juga tidak kalah menjengkelkan. Ok..selanjutnya jika kita mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari tukang parkir mungkin pasal ini bisa jadi bekal delik aduan yakni pasal 368 ayat 1 KUHP, isinya bisa baca sendiri ya. Hehe

Tuak/Bram/Beram Suku Dayak

Antara Eksistensi dan kontroversi hidup bersama jaman modernisasi dikalangan masyarakat Dayak Mualang Kecamatan Belitang Hulu

fb_img_1465505226355.jpgDulu minuman ini atau yang di sebut Tuak/Bram/Beram adalah suguhan pengganti teh/kopi bagi kalangan masyarakat Dayak umumnya.
Jauh sebelum mengenal teh/kopi, suku Dayak sudah bisa membuat Tuak dg rasa manis sedikit berbisa/hangat/keras alami sebagai akibat dari proses fermentasi atau peragian dari beras pulut/ketan yang di buat tapai.
Dalam tradisinya, tuak sendiri digunakan sebagai suguhan ketika ada tamu datang ke bilik (dalam rumah betang) baik pagi, siang maupun malam. Setiap bilik selalu menyiapkan tuak, selain untuk diri sendiri maupun tamu. Minuman ini juga berfungsi sebagai penghangat badan kala itu. Pada acara kebudayaan seperti gawai adat, minuman ini kerab menjadi pelengkap yang harus ada.
Di sisi lain, minuman ini juga sebagai rasa penghormatan dan ungkapan persaudaraan bagi para tamu yang datang ke bilik ketika mereka mencicipinya. Di era modernisasi saat ini, minuman tuak kerab dijadikan tameng perusak perilaku manusia. Ya..ini merupakan akibat penyalahgunaan dan mengkonsumsi secara berlebihan. Singkat cerita, minuman ini sekaligus menjadi minuman khas bagi masyarakat adat Dayak pada umumnya. Di bulan mei sampai juli setiap tahunnya, masyarakat adat dayak merayakan gawai/pesta adat panen padi atau biasa di sebut Gawai Dayak.
Gawai Dayak merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan/Jubata/Petara/Tenangaan atau sebutan lainnya bagi masyarakat dayak atas hasil panen padi sekaligus mohon berkat untuk tahun tanam berikutnya. Selain itu, gawai dayak merupakan kalender dayak itu sendiri, sama halnya seperti tahun baru nasional/imlek oleh etnis Tionghoa. Gawai dayak adalah tahun baru atau tahun tanam baru bagi masyarakat dayak, hal ini terbukti saat itu orang dayak ketika menghitung umur atau tahun lahirnya selalu berpatokan dengan tahun tanam ladang.
Di mayoritas suku Dayak Mualang khususnya Mualang Ulu, segala jenis yang dihasilkan dari panen tersebut dibuat penganan untuk menyambut hari gawai seperti Tuak, Lulon, Jimot dan lain sebagainya. Jenis makanan dan minuman ini menjadi simbolik bahwa adanya gawai/pesta. Namun sekarang, Tuak yang menjadi warisan leluhur oleh sebagian besar masyarakat Dayak Mualang Ulu sudah ditiadakan dengan alasan kurang baik untuk perkembangan diri yang dapat menjerumuskan pada perilaku dosa. Bagi saya, sebotol Tuak dan makanan meski tidak di minum namun bisa di pajang di atas meja sebagai simbolik untuk menghargai warisan leluhur demi mempertahankan budaya diri. Seperti kata pepatah "Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah", itulah makna sesungguhnya warisan budaya yang hendaknya selalu kita jaga dan lestarikan.

Tips Jitu Menata Jendela Rumah

Inspirasi Ala Kolonial Versus Indonesia

Sebelum ke topik, yuk mari simak kisahnya. Yupz..bagi yang pernah menyambangi kota Semarang, pasti tahu dengan bangunan seribu pintu. Terletak di tengah pulau Jawa, Semarang menjadi salah satu 5 kota terbesar di Indonesia.
Nah...ketika masuk dikota Semarang, tentu kita diperkenalkan dengan salah satu destinasi wisata sejarah yang wajib dikunjungi saat berada di kota lumpia ini. Sebuah bangunan tua bekas milik kolonial Belanda. Gedung ini oleh orang Jawa Tengah dinamakan Lawang Sewu yang artinya seribu pintu. Oya..bukan berarti jumlah pintunya seribu, tapi saking banyaknya maka disebutlah lawang sewu. 
Lawang Sewu merupakan bukti sejarah cikal bakal perkereta apian di Indonesia. Kala itu, bangunan ini menjadi tempat kantor dan stasiunnya kereta api. Saat memasuki areal bangunan, mata kita akan tertegun mana kala melihat indahnya arsitektur yang menakjubkan nan megah.
Dalam perjalanan mengelilingi sudut ruangan, saya terus terkagum-kagum dengan arsitektur yang luar biasa. Disepanjang ruangan terdapat banyak pintu, namun entah kenapa mata saya tertuju aneh pada satu hal. Terdapat lah jendela-jendela yang tertata terbalik tidak pada umumnya.
Saya menghampiri dan menerawang lebih dekat. Tak ayal, penasaran ini pun tak terbendung lagi. Akhirnya, saya memanggil guide yang telah menuntun kami disetiap ruangan bangunan tersebut, kendati saya juga lupa namanya. Heheuntitled-1-copy.jpg.jpeg
Ketika saya bertanya perihal jendela tersebut, ia sontak menjawab lancar dengan penjelasan sederhana namun masuk akal bagi saya. Setidaknya ada 3 hal mendasar kenapa jendela tersebut ditata terbalik, yakni :
  1. Agar udara segar masuk tanpa membawa debu ke ruangan. Udara masuk terpantulkan oleh kaca ke atas ruangan dan meninggalkan debu yang selanjutnya jatuh ke tanah oleh kemiringan jendela. Jika dibandingkan dengan desain Indonesia, udara hanya bisa masuk dari tanah ke atas tanpa terpantul di kaca dan praktis membawa debu bersamanya ke dalam ruangan,
  2. Desain ini akan menyulitkan pemilik rumah untuk membuang sampah melalui jendela, sementara di Indonesia kita di manjakan untuk membuang sampah melalui jendela karena aksesnya lebih mudah,
  3. Mempersulit pencuri atau orang yang berniat jahat masuk dalam rumah melalui jendela.
Sembari menunjukkan jendela tersebut, ia juga menjelaskan bahwa sebetulnya desain kita yang salah. Arsitek Belanda, sudah jauh sebelumnya memikirkan arsitektur yang efektif dan cocok bagi iklim kita. Namun justru oleh kita sendiri, di modifikasi tanpa alasan jelas. Ia menambahkan, bahwa kita orang Indonesia memang mempunyai kreatifitas yang tinggi sembari melempar senyum pada saya.
Ok..selanjutnya, bagi agan yang sedang dan akan membangun rumah mungkin pengalaman ini bisa menjadi pertimbangan sebagai inspirasi.